Saat ia datang….
Perempuan bersahaja itu duduk di hadapan dan menggenggam tanganku dengan tubuhnya yang gemetar. Aku hampir tersentak ketika sentuhan tangannya terasa begitu dingin. Aku menatapnya dari balik cadarku.
Genangan airmatanya tampak membasahi kedua pipinya dengan wajah piasnya yang kian tirus. Hijabnya juga sudah agak berantakan.
“Minumlah dulu, kau pasti haus dan lelah. Perjalananmu cukup jauh”
Aku mempersilahkan sambil menyodorkan minuman kaleng kesukaannya.
Ia meneguknya perlahan, kemudian mulailah ia bercerita…
“Aku, tidak pernah menyangka akan menjalani takdir kehidupan yang seperti ini. Entah apa kesalahanku?!? Sampai semua keburukan selalu ditimpakan kepadaku.”
Ia mulai tersedu berupaya menahan seluruh gejolak hati yang seakan ingin ia tumpahkan saat itu juga tanpa tersisa. Aku diam mendengarkan…
“Aku harus bagaimana?!? Aku sudah mencoba untuk tetap bertahan dengan sepenuh kekuatan hatiku. Tapi keadaan seakan terus memaksaku untuk tak lagi berada dalam lingkaran pekat yang sangat menyiksa itu!”
“Aku diperlakukan seperti seorang budak oleh suamiku dan anak-anaknya. Sedikit saja segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka aku harus bersiap menerima caci maki dan berbagai hinaan yang menyakitkan. Sudah terbiasa aku dibentak di depan anak-anaknya, sudah terbiasa aku direndahkan di depan anak-anaknya. Mereka bahkan pernah berkata bahwa aku tak pantas menjadi anggota keluarga mereka disebabkan aku ini seorang wanita mandul…”
Tangisnya pecah seketika.
Aku memeluknya seraya mengusap lembut punggungnya.
Dapat kurasakan betapa tergoncang jiwanya, menahan siksaan lahir dan bathin selama bertahun-tahun!
Dadaku pun mulai bergemuruh, terasa ada tetesan lembut yang mulai mengalir dari mataku.
Secepatnya ku hapus, tak ingin ia sampai melihatku ikut larut dalam kesedihannya.
Aku masih terdiam mendengarkan penuturannya, kisah demi kisah.
Aku genggam tangannya untuk menguatkan. Hembusan angin dari pepohonan di belakang rumahku sejenak mencairkan kesenduan suasana.
Aku memang mengajaknya untuk duduk santai melepaskan penat di halaman belakang rumahku, sesaat setelah ia datang berkunjung tadi.
Biar ia bisa lepas bercerita di alam bebas, sambil menatap langit, merasakan belaian angin, mendengarkan gesekan ranting dan dedaunan.
Aku tertunduk merenungi perjalanan takdir hidupnya.
Teringat ketika ia lama menjanda karena suaminya meninggal kecelakaan saat akan menjemputnya di sebuah Rumah Sakit.
Ketika itu ia habis menjalani operasi kanker rahim stadium tiga. Padahal pernikahan mereka masih hangat-hangatnya.
Baru 6 bulan! Setelah suaminya meninggal, sahabatku ini tak berniat untuk menikah lagi.
Namun tepat 5 tahun ia menjanda, keluarganya menjodohkan ia dengan seorang duda kaya beranak tiga.
Ia tak mampu menolak, kepatuhannya kepada orangtua menjadi alasan ia menerima perjodohan itu.
Saat pernikahan keduanya ini berlangsung, usianya genap 29 tahun.
Tiba-tiba lamunanku terhenti…
“Azvha…” Ia menyebut namaku.
Aku menoleh.
“Ya…” Sahutku.
“Apakah lagi yang harus aku lakukan?!? Aku sudah tak sanggup lagi bertahan, tapi aku juga tak mau orangtuaku mengetahui penderitaanku ini. Aku tak mau keadaanku ini menjadi beban fikiran mereka.”
Ia menahan nafas sekejap. Memejamkan matanya, bulir-bulir bening itu meluncur lagi. Dan perbincangan panjang itupun usai saat senja mulai memancarkan cahaya keemasannya.
Saat ia pergi…
Aku tak perlu menitipkan pesan apapun padanya karena ia seorang perempuan bersahaja yang taat pada Rabb-nya, patuh pada orangtuanya, penurut pada suaminya meskipun ia dihantam derita siksaan lahir bathin.
Aku cukup menguatkannya dengan pelukan, menjadi pendengar disetiap keluhannya.
Karena ia tak bisa berbagi cerita dengan siapapun selain denganku.
Dan aku sangat memahami mengapa ia tetap memilih untuk bertahan, meskipun hinaan setiap saat dicambukkan pada hatinya.
Meskipun racun celaan disiramkan setiap waktu pada dirinya.
Meskipun ia sendiri sudah tak sanggup lagi bertahan, nyatanya ia tetap berada di sana. Menjalani pernikahan penuh duka itu.
Hingga suatu hari ku terima khabar kepulangannya menuju takdir keabadiannya.
Dimana tak lagi ia mesti bersusah payah menanggung sengsara bertabur luka.
Saat ini di pusaranya…
Untaian doa ku rangkai untuknya: KHALILUNA BINTI SAYYID.
Sahabatku yang tak pernah menunjukkan penderitaan hidupnya.
Sebelum aku melangkah beranjak pergi dari makamnya, aku bergumam lirih:
“Ya, aku bisa memahamimu…”
Karena…
Seseorang terkadang memutuskan untuk tetap bertahan bukanlah disebabkan oleh kelemahannya yang tak mampu menguasai keadaan.
Bukanlah pula tentang perasaan yang harus ia perjuangkan sedaya upaya. Namun, adakalanya semua itu dilakukan karena ada sekian hati yang harus ia jaga kebahagiaannya.
Walaupun ia mesti terpuruk hancur oleh keputusannya sendiri.
Ia tetap memilih untuk bertahan.
Ya, terpaksa bertahan…!
Comment