Kenangan, Cerpen Karya Nelliya Azzahra

Cerpen326 Views

 

Suara nyaring jam wekker membuyarkan mimpi indah dan menarik paksa kesadaranku. Aku menguap, lalu meraih benda itu dan mematikan suaranya. Kulirik masih jam 3 dini hari, ah baru dua jam lalu aku tertidur. Namun, karena mata ini sudah tak bisa terlelap lagi aku bangkit dari dan melangkah masuk kamar mandi, berwudu.

Setelah memasang mukena dan menggelar sajadah, kulihat pria tampan itu tersenyum seraya bersila di atas sajadahnya. Aku kalah lagi. Selalu dia yang bangun lebih awal. Padahal aku ingin terjaga lebih dulu lalu mencuri kesempatan memandangi wajah lelapnya. Mengamati lamat-lamat dan menyimpan ingatan dalam memori kepala. Tetapi insomnia yang kuderita sejak dua bulan ini mengacaukan semua, membuat jam tidurku jungkirbalik.

Awalnya ingin mengkonsumi obat tidur, namun urung kulakukan. Aku tidak mau bergantung pada obat-obatan.
Lagipula aku tidak sakit.

Sebelum menghampiri sosok yang sedang mengarahkan tatapannya padaku, dada ini berdebar kencang. Seolah ada kembang api meledak di dalam sana. Aku tertegun. Dalam waktu sepersekian detik menahan napas. Mengamati wajah tampan pria itu ditimpa cahaya temaram lampu kamar menghadirkan letupan-letupan terasa menyenangkan.

Sekarang gantian dia dibuat heran. Sosok itu menaikkan sebelah alis, mungkin aku seperti orang tak waras sebab senyum-senyum sendiri. Ini memalukan! Ya Tuhan, demi apa pun aku tak bisa menghentikan perasaan ini. Jatuh cinta setiap hari pada orang yang sama membuat aku ingin hidup lebih lama. Ratusan bahkan ribuan tahun tidak masalah. Asal bersama dia. Ya, dia suamiku.

“Mari kita salat,” ajakku dengan rona merah menyebar di wajah. Dia tersenyum dan mengangguk.

Selesai salat aku tak lantas beranjak. Kutadahkan tangan memanjatkan banyak doa dan harapan untuk lelaki yang telah mengisi hari-hariku kurang lebih dua tahun ini. Dia yang kucintai sepenuh hati. Aku ingin Allah menjaga dan membuatnya bahagia melebihi apa pun di dunia ini. Aku tidak akan menukar waktu kebersamaan kami meski ditawari gunung intan sekalipun.

Mencintai lelaki sehebat dia tidaklah sulit. Di hari saat dia mengucapkan ijab kabul, di hari itu puka bunga asmara di hatiku bermekaran. Semakin hari semakin menyemak dan tak terbendung.

“Aku buatkan kopi, mau?” tawarku setelah melipat mukena dan menaruhnya di atas kasur.

Sekali lagi dia mengangguk dan mengusap puncak kepalaku. Salah satu kebiasaannya yang kusuka. Merasakan tangan hangat dan wangi napasnya, mendorongku untuk menghambur ke pelukan lelaki itu. Namun tidak jadi ketika kulihat dia meraih Al-Qur’an, membacanya pelan.

Dalam keheningan malam, ketika sebagian manusia masih berselimut mimpi, mataku berkaca-kaca mendengar kalam Illahi dilantunkan dengan suara indah. Setiap ayat menyentuh relung hati. Alangkah mengagumkan surat cinta dari-Nya. Pedoman hidup manusia sepanjang masa.

Aku tersenyum dan mengabaikan perasaan melankolis kerap hadir di saat seperti itu. Dia masih mengaji, kuputuskan pergi ke dapur. Sambil menunggu air mendidih kuambil toples berisi kopi dan gula. Mas Raziq suka kopi hitam dengan takaran gula dua sendok tidak lebih dan kurang. Kutuang ke dalam sebuah gelas, mengaduknya pelan.

Selesai menyeduh kopi aku balik ke kamar tempat pangeranku menunggu. Senyum mengembang membayangkan pujian yang akan kudapatkan. Mas Raziq tidak pelit memuji masakan istri dan mengucapkan terima kasih. Padahal itu sudah kewajibanku melayaninya. Namun, dengan begitu aku merasa lebih dihargai. Semakin menggunung rasa hormat serta cintaku pada pria bermata cipit itu.

“Suka?”

Dia mengangguk. Sesaat kemudian kembali menyeruput kopi dengan asap yang masih mengepul. Aroma pekat kopi menusuk indera penciumanku. Sayangnya aku tidak doyan. Sembari menunggu dia selesai meminum kopinya, aku menopang dagu menggunakan kedua tangan. Pikiran itu muncul lagi. Bergema di kepala. Bila ada kesempatan kedua aku ingin tetap berjodoh dengannya.

Dia menaikkan dagu seolah bertanya mengapa aku terus memperhatikannya seperti itu?
“Mas, kalau nanti kita punya anak aku mau mereka mirip kamu,” ujarku agak malu. Membayangkan rupa anak-anak kami nanti membawa kebahagiaan tersendiri.
Menanggapi keinginananku Mas Raziq terkekeh pelan.

“Aku serius, Mas.” Aku mengerucutkan bibir. Apa dia menganggap aku bercanda?

Melihat aku cemberut cepat-cepat Mas Raziq meraih jemariku, meremasnya pelan. Ekspresi wajahnya berubah sendu. Melihatnya aku jadi merasa bersalah.

“Aku engga marah, kok, Mas.”

Kusugar rambut hitam tebalnya. Mataku menyipit. Sepertinya pangeranku ini sudah waktunya potong rambut. Mas Raziq tidak keberatan setiap kali aku bantu memotongkan rambutnya. Katanya itu lebih baik agar sesuai selera. Dia hanya ingin aku melihatnya sesuai harapanku.
Bagaimana hati ini tidak luluh dan jatuh pada pesonamu, Mas. Kau mengerahkan segala upaya agar aku bahagia dan nyaman bersama.
Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kudustakan?

Aku menyentuh bahunya, “Nanti aku potong rambutnya, ya.”

Dia kembali tersenyum. Mana pernah dia menolak keinginanku. Apa pun itu asal tidak membahayakan pasti selalu diturutinya. Kukira suami model Mas Raziq ini hanya ada di drama Korea atau novel roman. Namun, dalam dunia nyata pun ada. Dan, akulah wanita beruntung itu. Tak henti rasa syukurku pada Maha cinta telah menautkan hati kami. Menyatukan dalam ikatan halal.

Saat ini pukul setengah tujuh pagi. Seperti kataku tadi, sekarang kami duduk di kursi kayu panjang di bawah pohon jambu air di belakang rumah. Udara dingin selepas hujan semalam tergantikan oleh kehangatan yang tercipta di antara kami. Efek cinta sungguh luarbiasa. Aku tidak menyangka akan terseret begitu dalam hingga tak mampu menggapai tepian.

Aku berdiri dengan alat rambut, sedangkan Mas Raziq duduk membelakangiku. Dia tersenyum ketika mulai kusentuh rambutnya. Senyum yang akan selalu terpatri di relung hati.
Tanpa membuang waktu aku mulai memotong rambutnya. Tidak sampai satu jam sudah selesai. Baru saja hendak kutunjukkan hasil kerja kerasku, rupanya lelaki berkulit putih itu tertidur.

“Kamu itu, ya, Mas. Bikin gemes saja.”

Aku mendekati dan memilih duduk tepat di hadapannya. Mendadak mataku berembun. Entah perasaan sedih dari mana menyeruak memenuhi rongga dada. Meninggalkan jejak luka. Kusentuh pelan hidung bangirnya.

Masyaallah, wajah seindah ini karunia Allah Maha sempurna. Air mata yang tadi coba kutahan luruh sudah. Aku ketakutan, teramat takut tak dapat melihat wajah suamiku suatu hari nanti.

“Mas aku mencintaimu. Maafkan jika aku mempunyai cinta sebesar ini,” lirihku dengan suara bergetar.

Aku merebahkan kepala di pahanya. Ini sudah menjadi kebiasaan kami. Bukan sekali ini saja Mas Raziq tertidur saat rambutnya kupotong.
Aku merasakan rasa kantuk tak tertahankan. Sebelum mataku tertutup nama Mas Raziq kubisikkan pelan.

“Nana, bangun! Mama cari di dalam tidak ada. Ternyata kamu di sini.”

Aku tersentak merasakan guncangan beberapa kali di bahuku. Ketika kesadaranku sudah terkumpul, di hadapanku berdiri Mama menenteng bungkusan yang kutebak isinya pasti makanan. Mama tidak alpa setiap pagi mengantarkan sarapan.
Menurut Mama aku kehilangan banyak berat badan sejak peristiwa kelam dua bulan lalu.

“Kamu itu kebiasaan masih tidur di sini,” kata Mama seraya mengecup pipiku.

“Maaf, Ma. Tadi aku bersama Mas Raziq.”

“Astaghfirullah, Nana. Kamu ini ngomong apa? Raziq kan sudah ….” Mama tidak melanjutkan ucapannya. Sebagai gantinya ekspresi sedih tercetak jelas di wajah yang mulai keriput itu. Mama meletakan bungkusan berisi makanan tadi di atas kursi lalu tangannya meraih jemariku. Aku mulai merasakan terjangan perasaan asing ini lagi.

“Iya, Mama. Aku … aku hanya merindukannya,” jeritku bersamaan dengan tubuh luruh ke tanah. Lagi-lagi aku mengulang hal yang sama. Mengapa waktu seakan menjebakku? Rasanya semua begitu nyata. Setiap kebersamaan kami, tapi itu hanya kepingan moment indah bersamanya.

Bukan salah takdir memisahkan kami sebab kanker getah bening yang menggerogoti kesehatan suamiku. Hanya aku dan perasaan ini yang belum terbiasa. Rasa kehilangan dan cinta begitu besar nyatanya sulit aku kendalikan. Hari-hari indah itu sudah berlalu. Belahan jiwaku ternyata hanya Allah titipkan sementara.[]

Comment