Sejurus pandangku mencuri momen. Perempuan itu masih menatap layar monitor. Ia berjuang tenang, sesekali netranya mengerjap, kemudian ada air yang tak sopan mengalir, disekanya dengan ujung kerudung hitam yang selalu ia kenakan dengan tak bosan. Mungkin ia menangis karena kisah yang sedang digarap memang menyedihkan atau tragis. Namun, akhirnya aku tahu … ah kemampuan mata perempuan itu sudah tak lagi prima.
Kutarik napas panjang, pelan-pelan … telinga perempuan itu teramat peka. Ia bisa mendengar desah napasku yang resah, sekalipun jauh. Suara bunyi gerakan jarinya yang menari di atas papan ketik terdengar kaku. Ia bukanlah pengetik sejati, hanya pejuang yang otodidak bergumul dengan naskah.
“Kenapa Ibu tidak berhenti sejenak untuk istirahat?” Akhirnya kuberanikan bertanya dan mengusap pundaknya.
“Tanggung, Ratri. Ibu harus menyelesaikan penyuntingan naskah ini agar honor segera turun.” Ia tak menoleh padaku. Itu isyarat yang membuatku harus mengerti bahwa ia tak bisa diganggu.
“Kita sudah tak punya makanan, beras pun habis.”
“Maafkan Ibu ya.” Ia menoleh ke arahku. Dari suara tenangnya ada nada gamang yang kurasa. Ingin rasanya aku menangis kencang, kadang mulutku terasa lancang. Namun, ia selalu membalas dengan tenang.
Mata itu terlihat mengerjap beberapa kali, lalu berdiri dengan terpincang-pincang. Mungkin karena pegal terlalu lama duduk. Menghilang, tubuhnya sudah berpindah ke arah dapur. Kudengar suara sendok sedang mengaduk sesuatu. Kemudian ia kembali dengan membawa cangkir. Bisa kutebak isinya. Ya itu adalah kopi. Aroma itu tak bisa berdusta.
“Ibu minum kopi hitam yang ada di antara gelas-gelas di dapur?” Aku heran.
Ia mengangguk dan senyum.
“Kan Ibu tidak suka kopi?”
“Terpaksa Ibu teguk.” Ia tersenyum getir. “Otak butuh nutrisi, atau setidaknya ada sesuatu yang masuk ke perut ini dan menghilangkan rasa lapar. Entah ini kopi siapa?”
“Itu punya Ayah, katanya dapat bonus makan malam dari pabrik. Ayah juga kan memang tidak suka kopi.”
Kami terdiam. Ia kemudian melanjutkan lagi. Wajah itu tak terganggu resah. Mungkin hatinya yang basah. Tangis itu sering ia sembunyikan.
Bu, maafkan aku. Ingin rasanya kusudahi ketiadaan kita ….
***
Pagi yang cerah, tak terkira. Sesuatu yang masih kusyukuri di antara kesulitan-kesulitan hidup yang hanya bisa kuumpat di hati. Lagi dan lagi aku hanya bisa bercerita tentang perempuan di depat monitor. Sembilan belas tahun lalu, ia melahirkanku. Kemudian membesarkan diri ini, menguatkan jiwa yang kerap merapuh. Merayakan kesakitan bersama, tertawa meski dalam derita. Ahhh … di luar sana pun pasti banyak perempuan seperti ibuku. Berjuang kuat di antara beban hidup yang menjerat.
Suatu ketika ia bercerita dengan segudang cita-cita yang membuat bola mata cokelatnya berbinar.
“Apa cita-cita Ibu yang belum tercapai?” Aku mengusap tangannya dengan lembut. Itu yang kubisa menyambut cintanya yang tak pernah berkurang–yang selalu ia ajarkan saat ingin mendengar celotehku di masa kecil.
“Menjadi ibu rumah tangga sejati.” Perempuan berusia 41 tahun itu menerawang.
“Ibu kan memang ibu rumah tangga.” Aku menegaskan.
“Seharusnya Ibu fokus padamu dan adik-adik. Ibu ingin khidmat terhadap ayahmu. Namun, semua terasa pincang. Saat dia tak bisa maksimal menafkahi kita. Ayahmu pun sudah berjuang, tetapi apa daya. Semuanya tak mampu mencukupi kebutuhan kita. Ibu dengan terpaksa harus menopang.”
Aku menarik napas pelan-pelan. “Haruskah aku tetap masuk kuliah, Bu?” Aku meragu.
“Harus!” Ia tegas dan menepuk bahuku.
“Apakah Ibu marah sama Ayah?”
Seperti biasa, ia hanya menggeleng. “Cinta Ibu teruji.” Senyumnya tulus.
Dadaku terasa sesak. Kasihan ibuku, ia hanya penulis senyap, penyunting yang kerap tak dianggap.
“Gelarmu akan menunjang bakat yang kamu punya sebagai seorang penulis. Kamu harus menjadi sarjana sastra. Dengan begitu kemampuanmu akan mendapatkan tempat.” Ketegasan kalimat itu terngiang jelas.
“Bu, hari ini ada video yang dibagikan oleh banyak orang, tentang ibu yang meracun anak-anaknya, setelah menyampaikan pesan kepada suaminya, kemudian ia bunuh diri. Tragis ya, Bu. Di negeri kita sudah banyak berita seperti itu. Aku pikir bunuh diri itu hanya kebiasaan orang-orang dari negeri drama.” Tak sengaja kualihkan arah bicara.
“Film Barat yang kamu tonton beberapa hari lalu, tentang seorang anak berkulit hitam yang bercanda tentang betapa ia mengisyaratkan berjuta makna dari kata ‘I love capitalism’, padahal fakta dan jeratan yang ada membuat banyak manusia terkapar.” Itu ucap perempuan yang kini benar-benar fokus di layar monitor.
Aku bergeming. Hatiku teriris. Hal yang kini kubayangkan bukan lagi hanya perempuan di depanku. Namun, tentang mereka para ibu yang terkapar tiada daya. Hingga berujung di ranah putus asa. Rasa syukurku tiba-tiba menyelinap. Kutatap punggung perempuan yang memberi cinta penuh dari sebelum aku terlahir. Kulihat gerakan tangannya menyeka mata. Aku tahu ia tidak sedang menangis. Hanya ketajaman matanya yang tak lagi sempurna.
“Bu, mengapa kapitalisme itu jahat?” Aku penasaran.
“Ratri, jika seluruh aktivitas kehidupan hanya dititikberatkan pada uang. maka kehidupan orang-orang yang kurang, itu akan sangat malang. Tatanan kehidupan menjadi rusak. Jangan harap si kaya akan mencintai yang papa. Bahkan mungkin saudara yang hartanya berlimpah, tak lagi mau peduli terhadap hidup kita yang susah. Standardisasi akan terus mengarah pada untung dan rugi. Mayoritas manusia hari ini begitu.” Ia menjelaskan diiringi suara tombol papan ketik yang ditekannya dengan kaku.
***
Hari demi hari berlalu, ibuku masih tetap fokus dengan pekerjaannya. Tanpa sedikit pun mengabaikan aku, ayah, dan kedua adikku. Ia berjuang untuk melaksanakan semua perannya dengan paripurna, meskipun ia berkali-kali mengatakan permohonan maaf karena bukan ibu yang sempurna. Ia topangan ternyaman. Selalu siap memperjuangkan, meskipun tapak kaki kelelahan. Tiba-tiba aku takut kehilangannya.
Kutulis surat diam-diam. Dengan hati yang sedikit mencekam. Kulantunkan doa, agar perempuan yang selalu setia di depan layar monitor itu tetap sehat dan panjang usia.
Engkau warna kesukaanku ….
Luasnya samudra, tak akan sanggup menggantimu. Sebab, engkau adalah rumah. Di mana sulitku menjadi lebih terasa mudah. Ketiadaanmu adalah sebuah keberadaan yang sempurna, sebab di situ ada cinta. Tidak kosong ataupun hampa. Padat adanya, meskipun hidup kita seadanya._
Ibu … sehat selalu, aku akan tumbuh dengan baik. Engkau harus menikmati setiap jengkal kuat yang engkau ajarkan bermuara di langkah kecil ini. Mungkin keadaanmu tak baik hari ini, bahkan cita-citamu menggantung di atas harap._
Aku ingin memberimu kacamata, agar pandangan itu tetap jelas dan mawas. Engkau warna kesukaanku, meskipun bukan pastel. Aku rela mencintaimu dalam corak abu-abu.
_Ratri_
Kulipat lembar surat itu menyerupai perahu. Kuusap mata karena ada basah yang kuundang dengan sengaja. Aku bertekad membelikan sebuah kacamata, aku berjuang untuk bisa menghasilkan uang. Kukirim beberapa cerpen ke media daring. Meskipun aku menulis semua hanya di ponsel. Kutiru semangat ibuku yag tak pernah jemu meskipun keterbatasan mengurung dan menelikung. Katanya aku harus menjadi air, yang selalu memiliki aliran semangat tinggi. Mencoba dan terus mencoba.
Harapku tak muluk-muluk, hanya ingin membeli sebuah kacamata yang membuat pandangan ibuku terasa nyaman. Atau beberapa liter beras dan makanan bergizi. Aku ingin semua cukup setiap hari. Tanpa ada lagi rengekan suara perut yang sulit untuk kami sembunyikan. Apakah itu terlalu berlebihan?
Aku sering mendamba menjadi orang kaya, hidup senang, dan tak pernah kurang. Tak kumungkiri jika aku manusia biasa yang memiliki naluri. Namun, pada akhirnya kenyataan begitu mengagetkan. Betapa sulitnya hidup di zaman ini. Semakin aku dewasa, hidup kian terasa sukar. Pantas saja banyak manusia yang menghalakan segala cara. Tak segan mengakhiri hidup karena kesenjangan yang terlalu kentara.
Ahhh … bisakah aku membeli kacamata nyaman untuk perempuan yang selalu berada di depan layar monitor itu?
***
Beberapa cerpenku hanya melayang, tanpa tayang. Setiap detik kuperiksa media daring kolom cerpen. Selalu tertulis judul yang tak pernah kucipta. Namun, aku tak berhenti menulis cerita. Hingga suatu ketika kudengar suara tangis. Perempuan itu menangis.
“Bu, kenapa?” Aku kaget bukan kepalang.
“Mata Ibu sudah semakin terasa buram, bagaimana jika Ibu tak lagi bisa menyunting naksah buku para penulis?” Betapa pun tegarnya, ia tetap manusia biasa yang sesekali benteng pertahanannya nyaris roboh.
Aku bergeming. Kuupayakan memeluk dan mengusap punggungnya. Aku semakin tak sepakat dengan kelakar si bocah perempuan kulit hitam di film itu.
Kami merayakan kesedihan dengan saling menguatkan. Hingga harapku pun berhenti, tentang naskah yang tak kunjung berbalas.
Suatu hari notifikasi WA-ku berbunyi nyaris berbarengan dengan surel yang kuterima. Aku berjingkrak karena tulisanku benar-benar tayang. Bahkan honorku pun sudah masuk di rekening yang baru dua kali terisi uang. Saking uang itu tak ramah padaku.
Kesedihan menyerang kembali, karena nominal yang ada tak cukup membeli sebuah kacamata.
Kulanjutkan menulis suratku tempo hari.
Engkau warna kesukaanku …
Kacamata itu belum mampu kubeli. Aku berjuang untuk menjadi kacamata buatmu. Aku akan mendampingi dan membantu menatap layar monitor dengan jeli. Melindungimu dari kesedihan-kesedihan dan tuntutan yang selalu menyeret perasaan. Aku akan menutup semua ketiadaan dengan meyakinkanmu, bahwa keberadaan utuh seorang ibu sudah lebih dari cukup. Aku memang pernah marah, mengapa mereka berfoya-foya begitu mudah? Pantas saja banyak orang miskin yang rela harga dirinya diupah dengan beberapa ratus ribu, demi memenuhi konten si kaya yang dibayar miliaran rupiah._
Tak mengapa warnamu abu-abu, karena corak itu yang sanggup membedakanku dari kehidupan semu, sendu, dan kelabu.
Ratri
Kuakhiri suratku seiring suara papan ketik di tengah rumah yang mulai geming.[]
***
Rizka Adiatmadja, menulis 150 buku antologi (puisi, cerpen, kata mutiara) dan 7 buku solo. Kini, ia mengampu kelas menulis untuk pemula via grup WA, yang terhimpun dalam komunitas Rumah Antologi Indonesia (RAI). Rizka bisa dikunjungi di akun IG @raiadiatmadja.
Comment