Thats Smile, Seseorang Yang Seharusnya Sudah Dilupakan. Sebuah Cerpen, Karya Zaqyatul Fitri

Cerpen373 Views

 

 

“Susah sekali ternyata melupakan satu orang saja.’

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Semua yang terjadi bukanlah kesengajaan. Sebagai seseorang yang sudah ‘sangat berpengalaman’, Reya sudah cukup antisipasi tentang hal yang melibatkan perasaan. Kisahnya … selalu berakhir menyedihkan.

Bertepuk sebelah tangan? Ada. Bahkan, Reya cukup ahli dan membiarkan orang itu tidak tahu selama hampir 11 tahun lamanya. Dia menyaksikan di media sosial bagaimana sang lelaki yang berganti pasangan hampir setiap tahunnya. Reya juga bukan gadis ‘pemberani’ seperti mereka-mereka di luar sana dan melangkah lebih dulu untuk kelanjutan kisahnya.

Hingga akhirnya, Reya patah sendiri saat lelaki yang dia sukai justru lebih memilih adik kandungnya.

Setelah lepas susah payah dari orang pertama, Reya memberanikan diri untuk membuka hatinya kembali. Ia kemudian jatuh pada anak SMA di saat dirinya masih SMP. Lelaki itu merupakan lelaki yang selalu dijodohkan ibunya dengan Reya. Namun, ternyata restu orang tua saja belum tentu menjamin segalanya.

Setelah SMA, lelaki dengan banyak bakat itu memilih menikah muda.

Namun, yang menjadi pengantinnya hari itu … bukanlah Reya.

Di ghosting? Reya merupakan salah satunya. Kisah ini diisi oleh seseorang yang dua tahun lebih muda darinya. Meski begitu, sang lelaki cukup dewasa dibandingkan Reya saat seumuran dengannya. Tidak ada hubungan yang terjalin diantara mereka. Bahkan berganti kabar sekali seminggu sudah cukup bagi keduanya.

Dua tahun semua berjalan sama. Hingga akhirnya di tahun ketiga, tepat saat Reya menjalani prakeringnya, semua berubah tanpa mereka duga. Reya yang sibuk dengan tugasnya dan lelaki itu yang entah sibuk apa? Hingga setelah setahun tidak ada berhubungan, Reya kembali dikejutkan dengan dia yang tiba-tiba menanyai kabar.

Namun, hanya sebatas itu. Sebab Reya pun baru sempat membalas setelah tiga hari pesan itu terkirim. Keduanya sama-sama tidak ada niatan untuk melanjutkan. Tidak ada korban. Mereka sama-sama pelaku yang disamarkan keadaan.

Hingga menyelesaikan sekolah menengahnya, Reya tidak lagi menyukai siapa-siapa. Untung saja jurusannya hanya diisi oleh perempuan saja. Jadi, celah untuk terpesona dengan kharisma seseorang di kelas dapat dia hindarkan. Saat keluar kelas juga sebisa mungkin Reya selalu menjaga jarak dari lelaki di sekolahnya.

Dia berhasil.

Selama dua tahun semua berjalan sama. Tidak ada apa-apa. Tanpa adanya kesempatan ‘debut’ untuk versi lain dari patahnya.

Namun, saat dirinya memilih untuk menjalani apa yang dia impikan, semua mulai berjalan di luar apa yang Reya harapkan.

Dia ingin bekerja tanpa repot-repot kuliah. Karena dari awal memang itulah tujuannya memilih SMK. Mengenai biaya … sepertinya bukan itu masalahnya. Karena ada tiga beasiswa yang Reya tolak setelah kelulusannya. Bahkan, salah satu di antara mereka menyediakan beasiswa penuh sampai lulus dengan tambahan uang saku setiap bulannya. Tapi, Reya tidak ada niatan untuk itu semua.

Dia hanya ingin bekerja. Membantu pemasukan keluarganya.

Akan tetapi, semua berubah saat dirinya tidak sengaja mendengar bahwa ada yang ingin melamarnya.

Reya masih sembilan belas saat itu. Meski umurnya tergolong sangat telat untuk lulusan SMA, Reya bukanlah siswi tinggal kelas. Dia telat didaftarkan SD oleh orang tuanya. Sehingga, pemikiran Reya tidak jauh berbeda dengan anak tujuh belas tahun yang seangkatan dengan dirinya.

Dia … sama sekali belum siap membina sebuah keluarga.

Meminta saran dengan keluarganya yang berada di kota, akhirnya Reya setuju saja saat dirinya diajak ke sana.

Dan, di sinilah Reya. Di kota yang dulu hanya bisa dia lihat dari layar saja.

Ini lucu. Karena pada akhirnya Reya malah diminta untuk kuliah oleh keluarganya yang di kota itu dengan mendaftarkan Reya di sebuah yayasan yang menyediakan beasiswa.

Pembiayaan diberikan untuk UKT saja. Uang jajan ditanggung sendiri. Bahkan, Reya harus berjuang mati-matian belajar lagi untuk ikut seleksi masuk perguruan tinggi.

Entah ini hukuman atau apa? Yang jelas, Reya merasa dirinya ditertawakan oleh tiga kampus yang dia tolak sebelumnya.

Tidak cukup sampai di situ ‘kejutan’ yang harus Reya terima.

Benteng tinggi yang selama ini dia bangun tiba-tiba saja roboh karena ‘ketidaksengajaan’ melihat senyuman seseorang.

Rasa itu semakin menjadi semakin hari. Tidak peduli berapa kali Reya menepis pikiran menggelikan itu dan bahkan sampai menangis. Tapi, bayangan itu datang lagi, lagi, dan lagi.

Mulai pasrah, akhirnya Reya mencoba membiarkan semuanya. Dia hanya tidak mau melukai diri sendiri karena selalu mengangis setelah setiap kali mereka harus ‘tak sengaja’ terlibat interaksi.

Semua makin menjadi saat dia sadar bahwa orang itu bersikap berbeda pada dirinya.

Lelaki itu cukup ramah pada orang lain, namun sangat dingin pada Reya. Orang itu juga selalu jaga pandangan dengan wanita lain, tapi … seringkali kedapatan mencuri pandang pada Reya.

Ini bukan perspektif belaka. Ada saksi mata. Dan, itu bukanlah tindakan satu atau dua kali yang tertangkap nyata, tetapi, hampir setiap kali saat orang itu dan Reya harus berada di lokasi yang sama.

Reya benar-benar tidak berdaya. Sekuat apapun ia mencoba lepas, selalu ada ‘permainan’ takdir yang menariknya kembali dengan perasaan yang sama.

Baik dengan mematahkan semua kemungkinan kekurangan yang ‘dia’ punya atau bahkan membuat Reya dengan orang itu memakai baju dengan warna yang sama tanpa perencanaan apa-apa.

Benar-benar gila.

Di saat Reya menduga jika ini adalah kesempatannya untuk bahagia. Dia justru disadarkan dengan kenyataan yang mampu meluluh landakan anggapannya.

Bahwa ternyata … Reya hanya sedang dimanfaatkan saja.

Lelaki itu menyukai seseorang yang mempunyai kemiripan dengan Irreya Safeera.


Pagi ini, Reya dan juga satu rekannya di yayasan ditugaskan mengantarkan sedekah untuk fakir miskin. Berbeda dengan minggu sebelumnya yang hanya diantarkan oleh mereka yang mendapat tugas itu, kali ini salah satu pembina berkata akan ikut membersamai mereka.

Sesampainya di lokasi pengambilan sedekah, Reya berinisiatif berjalan keluar gerbang dan mendekati rumah penduduk. Guna bertanya alamat si penerima dan mempersingkat waktu selagi menunggu kedatangan sang pembina.

“Nanti Neng-nya masuk gang sempit itu, trus nanti Neng belok kiri. Di perempatan nanti Neng lurus aja. Alamat yang Neng cari ada di sebelah kanan jalannya,” jelas wanita paruh baya yang Reya tanyai. Cukup pelan dan detail sekali. Masalahnya … Reya tidak mengerti.

Entah karena faktor dirinya bukan orang sini yang takutnya nyasar dan malah menyulitkan diri sendiri atau alasan lain yang sedari tadi mengganjal di hati?

Ibuk itu tersenyum ramah pada Reya yang nampak jelas kebingungan. “Nanti saya tunjukkan langsung saja,” ucapnya.

“Nggak usah, Buk. Saya–”

“Ada apa?”

Keduanya menoleh ke arah suara.

Sandi–senior Reya di yayasan yang ia masuki–berjalan ke arah mereka.

“Ada Nak Sandi juga, toh?”

Lelaki itu tersenyum ramah.

“Neng-nya tadi nanya alamat. Empat alamat sudah saya kasih tahu. Untuk alamat kelima cukup jauh. Jadi si Eneng-nya bingung. Makanya, saya nyaranin buat nemenin langsung ke lokasi saja.”

Bahkan, untuk menjelaskan begitu saja Reya tidak mau repot mengeluarkan suaranya. Efek ‘jarang’ berkomunikasi dengan lelaki semasa SMK membuat Reya masih kesulitan berinteraksi dengan kaum adam di sekitarnya. Padahal sudah setahun dirinya dihadapkan dengan lelaki di yayasannya.

“Memang alamatnya di mana?” Sandi melirik Reya yang sedari tadi diam saja.

Sedikit kaget. Reya menyalakan ponselnya dan mengangkat layar itu mendekat ke depan wajah orang yang bertanya.

Dia benar-benar tidak mau repot untuk menjelaskan apa-apa.

Entah karena kebingunan juga atau karena sedang berfikir? Sandi bertahan dengan posisi itu cukup lama.

Waktu yang cukup untuk membuat pikiran Reya berkenala dan menggali memori tentang lelaki di hadapannya.

Sandi pernah bertanya pada Reya tentang aplikasi apa yang dia pakai untuk membuat tugas dengan begitu bagusnya sebagai pemula? Tapi, setelah gadis itu pikir lagi, pertanyaan itu tidaklah sepenuhnya terlontar untuk dirinya. Melainkan hanya pertanyaan pancingan saja.

Karena kalimat Sandi setelahnya, “Kira-kira senior kamu yang biasa dapet tugas serupa pakai app apa, ya?” tanya lelaki itu dengan nada penasaran.

Reya mengalihkan pandangannya dari Sandi. Sebuah bisikan mendorongnya berbuat demikian.

“Bahkan … yang berdiri di hadapan kita saat ini pun sama saja.”

“Saya kayaknya tahu,” ucap Sandi kemudian mengalihkan perhatian mereka. “Terima kasih banyak atas tawaran baik Ibuk-nya. Tapi, kayaknya kami saja.”

Reya melempar senyuman sopan saat wanita paruh baya menatap ke arahnya. Tetap berdiri di sana setelah percakapaan itu selesai, Reya hanya bisa menghela napas panjang dan mempersiapkan dirinya akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pembina yang ditunggu sudah bergabung. Mereka semua kemudian berangkat menuju rumah pertama.

Di barisan paling depan, Sandi memimpin arah mereka. Di barisan kedua ada sang pembina dan rekan Reya yang sedang berbincang tentang kuliahnya. Reya di barisan ketiga. Kemudian di barisan paling belakang … seseorang yang Reya harapkan berada jauh darinya.

Namanya … Zein Ahmad Saheer.

Ya, ada satu orang lainnya yang mendapat tugas serupa dengan Reya dan rekannya. Seseorang yang sebenarnya Reya bahkan tak mau melihat batang hidungnya.

Hari ini … Reya benar-benar merasa dikelilingi oleh mereka yang hanya pura-pura peduli.

“Kita ke alamat yang mana sekarang?” tanya sang pembina memandang Reya.

Mereka sudah mendatangi empat rumah penerima. Dan, sedari rumah pertama selalu Sandi yang menjadi penuntun jalan mereka. Tapi, karena sebuah urusan, Sandi harus pamit duluan. Sehingga, Reya yang tadi terlihat ikut bertanya dimintai info yang dia terima.

“Alamatnya di mana?” Zein melirik Reya juga.

Reya mengerjab. Itu adalah alamat terakhir. Dan, ini adalah tugas seseorang yang dia kira sudah tahu alamatnya–sama seperti Sandi sebelumnya–karena mereka sama-sama orang sini. Tapi, kenapa malah dirinya juga yang ditanyai?

“Saya kira dia sudah tahu, Pak!” Jari telunjuk Reya terarah pada Zein yang hanya diam sambil memandanginya.

Dia benar-benar ‘pakai urat’ mengucapkan itu.

Seakan, sakitnya selama sebulan belakangan ketika tahu semua ‘omong kosong’ itu mendorong Reya untuk membentak Zein.

Memarahi lelaki itu.

Ditambah lagi, kini Zein sedang menyorotnya dengan pandangan lurus tanpa makna apa-apa.

Benar-benar songong.

Jiwa Reya menjadi terbakar. Makanya, dia berani memelototi tanpa rasa gentar.

Seakan ada kebahagiaan yang Reya capai saat akhirnya bisa meluapkan amarahnya pada lelaki itu meski lewat konteks yang jelas berbeda.

Maka dari itu … dia sama sekali tidak merasa bahwa dirinya melakukan kesalahan. Zein pantas mendapatkannya.

Bahkan, seharusnya di-plus tendangan di perutnya.

“Ya, sudah. Kalau tidak tahu, tanya dulu,” putus bapak pembina.

Dan, manusia yang seharusnya menanggung satu alamat terakhir ini benar-benar tidak tahu diri.

Menahan kesal, akhirnya Reya yang bergerak dan bertanya. Hingga keluar dari gang itu menuju jalan pun, saat nereka kembali kebingunan, Reya lagi yang harus berinisiatif mengeluarkan suara.

Sampai saat akhirnya alamat itu ditemukan, barulah si ‘tidak tahu diri’ mau berjalan paling depan.

Bagian buruknya, dia berjalan tepat di hadapan Reya yang semula menjadi penuntun mereka.

Reya sangat tidak nyaman. Namun, langkahnya juga seakan sudah diatur untuk menyesuaikan.

Sempat dirinya melihat bahu kokoh di depannya dengan jarak tak lebih dari dua meter saja. Reya kemudian sadar jika dia belum sepenuhnya menang dalam permainan yang takdir ciptakan. Masih ada rasa nyaman yang menjalar di saat dirinya sendiri tahu bahwa orang di hadapannya ini tidak menaruh sedikit pun perasaan yang dirinya harapkan.

Itulah sebabnya, saat tiba di alamat terakhir itu, Reya berhenti tiga meter dari sana dan menyibukkan dirinya.

Dia … hanya takut.

“Hidup ini terkadang tidak seindah yang kita bayangkan. Tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sebab Allah memberikan apa yang dibutuhkan. Bukan yang diinginkan. Sekalipun menyakitkan, tentu ada kebaikan yang telah Dia siapkan. Hempaskan semua hal yang menyakitkan untuk berlari meraih impian.”

Itu adalah penggalan pesan yang Reya dapat dari teman curhatnya. Dalam hal ini … dia ingin membuang semua celah yang berkemungkinan membuatnya kembali terluka.

“Fotoin, Kak.”

Ya, itu dibutuhkan untuk proposal. Foto tersebut tanpa barang pemberian dengan hanya menampilkan penanggung jawab–yang mendapat tugas–dan sasaran sedekah–penerima.

Awalnya, Reya berfikir jika itu adalah perintah untuk rekannya. Tapi, semua buyar saat rekannya itu mencolek lengannya dan menyadarkannya bahwa ternyata itu adalah perintah untuknya.

Perintah untuk Irreya Safeera.

Reya meneguk ludahnya.

Kenapa harus dia?

Reya tidak sempat memberikan alasan apa-apa karena sang pembina sudah mendekat pada Zein yang berhadapan dengan pemilik rumah.

Lagipula, setelah diteliti ucapan lelaki paruh baya itu bukanlah pilihan melainkan keharusan.

Itu perintah yang harus Reya segera laksanakan.

Reya menghela napasnya pelan. Menyiapkan ponselnya, dia mulai mengambil posisi. Mencoba mundur, dia hanya menangkap siluet Zein saja. Sementara kakek–penerima–tertutup jemuran.

Benar-benar menyebalkan. Kenapa juga di sana harus ada jemuran?

Reya akhirnya bersandar di dinding rumah sampingnya, namun sialnya, hasil yang dia dapatkan tetap sama.

Satu-satunya jalan … Reya menghembuskan napasnya perlahan.

Maju dua meteran, dia mendekat dan berbicara pelan tanpa memandang, “Maaf? Bisa geseran sedikit, nggak? Ini mau difoto.”

Zein melirik sebentar.

Lirikan yang jauh lebih menyebalkan dari sebelumnya.

Lelaki itu masih saja memberikan pandangan berbeda padanya. Sorot datar tanpa sedikit pun keramahan tidak seperti saat dia melihat wanita lainnya.

Dia tidak tahu saja bahwa tindakannya itu sungguh tidak berguna. Karena, Reya sudah tahu ‘semuanya’.

Setelah melakukan ‘aksinya’, Zein bergeser satu langkah dari posisinya.

Momen selanjutnya terekam jelas di benak fotographer dadakan itu.

Pembina mereka bergeser dari sana dan meminta Reya untuk menangkap tampilan Zein dan kakek itu saja. Namun, karena sang kakek sudah cukup susah bergerak, akhirnya sang cuculah yang beliau minta.

Anak tiga tahunan itu cukup banyak bergerak saat Reya mulai mengatur kameranya. Hingga akhirnya, Zein memegang bahu kokoh versi mungil itu dan berjongkok sambil memeluknya dari samping. Tak lupa ajakan lembut untuk berfoto dan … sesuatu yang tak sengaja mata Reya tangkap dari kamera ponselnya.

Zein menyuguhkan senyuman hangatnya.

Dengan tangan besar itu yang melingkar di pundak anak lelaki itu, entah kenapa Reya merasa suasana sekitarnya tiba-tiba berbeda? Ada yang aneh dengan dirinya.

Gadis itu refleks ikut berjongkok. Mendapati angle yang cukup pas di depan mata, Reya mengatur kamera ponselnya dan mulai menghitung.

“1 … 2 … 3 …”

Ceklek!

Satu foto klasik dengan latar sederhana dan suasana hangat akan menyapa siapa saja saat melihatnya.

Entah sedang terhipnotis atau memang tidak lagi ingin peduli? Reya … kembali jatuh lagi.

Di tengah lamunan yang mengikis rasa percaya Reya terhadap seseorang siapapun dia, sahabat taatnya hadir sembari menepuk bahu dan berbisik lembut, “Reya, sakit yang berulang kali engkau rasa bisa jadi adalah bukti cinta Allah padamu, karena Dia cemburu dan tidak ingin engkau duakan, dan agar engkau terjaga dari lelaki yang tak pantas untukmu. Sesungguhnya Allah hendak siapkan pangeran terbaik yang akan menggandeng dan membangunkanmu istana di surga kelak. Reya, kamu hanya butuh sedikit bersabar dan fokus melayakkan diri menjadi _high jomblo_ yang menjadikan para bidadari iri… Semangat Reya…

– End –

Tidak ada yang sepenuhnya bisa mengendalikan perasaannya. Irreya Safeera adalah salah satu buktinya.

Ya, dia sudah dibuat kecewa oleh kenyataan yang dia terima. Tapi, rasa juga … bukanlah sesuatu yang bisa dihilangkan begitu saja. Namun dengan ‘kewarasan akal’ semua akan kembali baik-baik saja.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

Pesan cinta untuk Reya,

I’ve felt all the bitterness in life and the most bitter is to hope in humans (Ali bin Abi Thalib)

Saya pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan tidak ada rasa pahit yang melebihi pahitnya berharap kepada manusia.

Comment