Tenanglah, Semua Akan Baik-baik Saja

Cerpen1213 Views

 

Oleh: Titin Kartini, Pegiat Literasi

__________

“Bu, hari ini agendamu mau kemana?”
Seperti biasa setiap pagi suamiku bertanya tentang agendaku, khawatir ada yang dia lupa. Maklum dia selalu mengupayakan untuk mengantar sebisa mungkin jika agenda itu siang hari ketika ia sudah pulang berdagang.

“Seperti biasa Yah, hari ini ibu mengaji rutin pukul dua siang. Ayah antar ibu yah bisa?”

Ia menganggukkan kepalanya, tanda ia bisa mengantar.

Kehadiran si bungsu membuyarkan lamunanku mengenang masa lalu bersama suami. ” Ibu kenapa menangis, ingat ayah lagi?” tanyanya. Kujawab hanya dengan senyum, kupeluk tubuhnya, untuk mengurai kesedihan yang merayapi dada.

Tak terasa satu tahun kujalani hidup ini tanpa belahan jiwa. Manis, pahit getirnya hidup kutanggung sendiri.

” Teh ada yang mencari pendamping, Teteh sudah siap?” tanya temanku entah untuk yang keberapa kali permintaan itu datang padaku.

Aku hanya menjawab belum siap, maaf, sana oasan laine. Aku memang belum terpikirkan ingin menikah kembali bukan tidak menerima takdir namun aku merasa belum siap menerima kehadiran orang lain di sisiku terutama untuk anak-anak.

Sepi? Pasti. Lelah? Iya aku harus banting stir menjadi tulang punggung untuk diri dan anak-anak. Godaan, hinaan, cacian kudapatkan.

“Baru pulang jam segini, dari mana Teh anak-anak dibawa?”.

“Jangan suka posting foto, cukup dagangannya saja yang dijual jangan orangnya”.

“Janda muda mau ke mana, cantik sekali”.

Ucapan-ucapan yang sempat membuat down, aku seperti ada dititik nadir, lemas terkulai. Bulir bening mengalir deras dipelupuk mata, lidahku kelu, nafasku berat.

” Yaa Rabb seperti inikah hidup menjanda?” lirihku.

“Teh mau nikah dengan saya, Teteh masih bersedia punya anak?”

“Teh maafkan aku ternyata keluargaku tidak bisa menerima seorang janda apalagi dengan anak”.

Suatu kali ketika ku coba untuk membuka hati, dengan bismillah namun beberapa kali kecewa dan sakit membuatku menutup kembali pintu hati.

Ada yang salahkah denganku? Mengapa masih banyak orang yang hanya bisa menghakimi tanpa bertanya terlebih dahulu pada sumbernya langsung? Kugigit bibirku menahan semua pedih yang terasa.

Kulihat anak-anak yang sedang tertidur lelap dibuai mimpi-mimpi mereka. Kukatakan dalam hati berusaha memberikan afirmasi positif pada hati sendiri.

“Aku kuat, Engkau yang Maha  menguatkan, aku bisa karena Engkau yang memilihku”.

Setiap manusia menjalani takdirnya masing-masing, begitupun denganku. Menjadi janda tak pernah kupinta, tak pernah kuingin. Namun Allah berkehendak lain, perjalanan cintaku dan suami dicukupkan hanya sampai di sini.

Hari terus berlalu, bulan berganti begitu cepatnya. Kucoba melukis senja, merangkai hidup agar tetap bahagia dengan apapun yang terjadi. Kususuri lembar demi lembar kehidupan, kugoreskan pena dalam sanubari di setiap langkah perjalanan hidupku.

“Teh tidak boleh seorang wanita terlalu lama sendiri, apalagi Teteh masih muda jika ada yang datang mau ya. Khawatir dengan fitnah orang teh” ucap seorang teman yang juga kuanggap seperti ibuku sendiri.

Aku hanya menghela nafas dalam-dalam. Jujur aku memang tidak terlalu memikirkan itu, aku hanya fokus kepada perbaikan diriku, anak-anak, dakwahku juga muamalahku.

“Ya Allah Engkau maha tahu segalanya, aku hanya yakin Engkau akan memberikan dan mempertemukanku dengan seseorang yang tepat di waktu yang tepat,” gumamku.

Janda memang bukan seperti anak perawan, yang ketika mengambil keputusan ia bisa sendiri walau menyangkut dirinya. Namun tentu saja bukan hal mudah bagiku untuk menerima seseorang ia harus jelas visi dan misi kehidupannya dan tahu apa arti berumah tangga, untuk apa dan akan dibawa kemana rumah tangganya. Mungkin terlalu rumit atau sulit kriteriaku tapi aku yakin akan ada pada waktunya.

Biarlah kujalani hidup ini dengan para penguat jiwa, jodohku kuserahkan saja pada Sang Pemilik jiwaku. Berusaha terus bergerak dalam kebaikan, aku ingin menjadi janda ideologis limited edition. Tidak menuntut kesempurnaan karena diri ini pun bukan manusia sempurna. Namun tentunya berharap yang terbaik dalam hidup ini. Biarlah kulantunkan doa-doa di malam sepi dalam hamparan sajadah panjangku bersama Rabb-ku.

Ku mohon pada-Nya agar yang membenci kami berbalik arah menjadi menyayangi. Dikuatkan dalam setiap langkah kami, diberikan kesabaran dan dimampukan mendidik para penguat jiwa kami sesuai syariat -Mu.Kami hanya ingin dihargai, dihormati sebagai mana layaknya manusia. Doaku semoga Allah kabulkan.Tenanglah wahai hati semua akan baik-baik saja.

Aku tak boleh rapuh karena ada permata hati yang harus aku duduk dan lindungi dengan sepenuh hati.

Aku yakin Allah memilihku karena Dia anggap aku mampu. Bulir bening kembali menganak sungai di pipi. Bukan ratapan, namun sekadar pelepas resah yang merajai hati.

“Teguhkan hati hamba ya Rabb,” bisikky lirih.

Malam semakin temaram, ku terhanyut dalam munajat panjang. Berharap esok bisa berjalan sesuai harapan. Semua akan baik-baik saja.[]

Comment