Ucie Siregar: Politik Oligarki Dan Derita Rakyat

Opini506 Views

RADARINDONESISNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintah periode kedua 2019-2024. Tujuh di antara mereka merupakan generasi milenial, usianya 20 hingga 30-an tahun, yang memang sengaja ditunjuk Jokowi untuk bertugas “mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang.” Jokowi mengenalkan satu demi satu nama-nama mereka serta mengumumkan latar belakang pendidikan dan kiprahnya. Umumnya adalah entrepreneur, sociopreneur, dan edupreneur—aktivitas bisnis yang dipadu dengan pengembangan sosial, pendidikan, filantropi, dan ekonomi anak muda. Pendeknya, mereka merepresentasikan generasi milenial. (tirto.id/emax, 21/11/2019).

Seperti yang diberitakan di beberapa media, gaji yang akan didapatkan sebagai staf khusus presiden sebesar 51 juta/bulan. Sekalipun ada yang membantah mengatakan itu tidak benar, namun berita ini sudah santer terdengar oleh masyarakat luas dan menyebabkan kontroversi di berbagai kalangan.

Sebagai bagian dari warga masyarakat, wajar banyak yang mengesalkan dan merasakan ketidakadilan atas hal ini. Menimbulkan pertanyaan, etiskah gaji stafsus sebesar itu? Sementara, yang diangkat menjadi stafsus tersebut belum jelas tugas pokok dan fungsinya? Belum jelas apa kerjanya mereka, terlebih mereka adalah kalangan milenials yang didominasi oleh para pebisnis, anak konglomerat dan juga partai. Sudah kita ketahui bersama yang menjadi orientasi konglomerat tentulah komersialisasi, bisnis bukan pelayanan.

Sementara itu, masih banyak sekali profesi di masyarakat yang tidak mendapatkan gaji secara layak, bahkan ada yang tidak digaji, padahal mereka sudah bekerja keras, mencurahkan tenaga, pikirannya untuk kebaikan dan kemajuan negeri. Sebut saja guru honorer, mereka datang dari satu daerah ke daerah lain bahkan ke daerah terpencil dan pedalaman, yang sulit mendapatkan akses dan fasilitas pelayanan. Namun mereka tetap semangat dan tulus menyumbangkan tenaga, pemikiran yang mereka miliki ke anak-anak didiknya. Ironi, disaat mayoritas masyarakat merasakan kesulitan hidup, pejabat negeri ini malah menampakkan kemewahan dengan segala fasilitasnya. Apa mereka benar-benar tidak memiliki mata, telinga dan hati. Taukah mereka ada 22 juta rakyat yang terkapar kelaparan? Dengarkah mereka ada jeritan jutaan rakyat pengangguran yang tidak mendapatkan pekerjaan? Masih banyak masalah negeri ini yang belum teratasi, namun malah rezim dan jajarannya seolah tanpa hati menampakkan kebahagiaan diatas penderitaan rakyat.

Politik Oligarki Dalam Birokrasi

Oligarki merupakan suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan politik dipegang oleh sebuah kelompok elit kecil yang berasal dari masyarakat, hal ini dapat dibedakan berdasarkan keluarga, kekayaan serta kekuatan militernya. Kata oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “oligarchia”, di mana kata oligoi yang berarti sedikit dan arkhein yang memiliki arti memerintah.

Dari definisi oligarki diatas, kita bisa mencium aroma politik oligarki semakin menguat di rezim jilid II ini, terlihat dari diangkatnya kalangan milenials dengan latar belakang partai dan para konglomerat yang menyokong Jokowi saat kampanye pilpres.

Jeffery Winters yang merupakan analisis politik, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia ternyata dikuasai oleh kelompok oligarki, akibatnya sistem demokrasi semakin jauh dari cita – cita serta tujuan untuk memakmurkan rakyat Indonesia.

Padahal sejatinya, oligarki ataupun demokrasi keduanya merupakan sistem politik yang rusak, tidak layak untuk digunakan di negeri ini. Oligarki meniscayakan rezim berkuasa dengan sekelompok elit yang memiliki harta ataupun tahta yang sarat kepentingan dengan hitung-hitungan rugi dan untung. Dengan tahta ataupun harta yang dimiliki, para elit tersebut dapat menjadi pengusaha (konglomerat) sekaligus penguasa. Penguasa membutuhkan kapital (modal) untuk mengiklankan diri ditengah-tengah masyarakat agar dipilih menjabat. Modal yang didapat tentulah dari para konglomerat yang berjasa menggelontorkan dananya untuk kemenangan si pejabat. Dan akhirnya menjadi kesepakatan diantara keduanya untuk berkomplot duduk di pemerintahan demi mengembalikan modal keluarga yang telah dikeluarkan dan membagi jatah kue kekuasaan.

Sementara demokrasi meniscayakan penguasa bebas berkehendak semaunya tanpa batasan. Mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk hal-hal yang tidak perlu dan sia-sia. Mengedepankan kepentingan para konglomerat dari pada rakyat sendiri. Menggaji besar mereka dengan puluhan juta, padahal mereka sudah bergelimang dengan harta. Sementara hal yang sangat dibutuhkan untuk rakyat seperti menyelesaikan masalah kelaparan, stunting, pengangguran karena tidak adanya lapangan kerja dan masih seabrek masalah lainnya diabaikan begitu saja.

Pendek kata, politik oligarki maupun demokrasi keduanya sama rusaknya, pengusaha (konglomerat) lah yang bisa berkuasa dengan sesukanya.

Politik Oligarki telah menciptakan pemimpin tanpa hati. Sudah sedemikian beratnya masalah yang ditanggung oleh mayoritas rakyat namun pemerintah dan jajarannya masih saja tidak bergeming. Para pejabat bergelimang fasilitas dan kemewahan, sementara rakyat terus mengalami penderitaan. Penderitaan yang berkepanjangan tanpa penyelesaian.

/Cara Islam Menyusun Birokrasi Agar Terhindar Oligarki/

Islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Saw untuk mengurus hajat hidup manusia dan alam semesta. Kesempurnaan Islam akan tampak jika diterapkan secara utuh dalam seluruh kehidupan. Bukan hanya penerapan dalam hal ibadah namun juga sampai penerapan dalam hal politik dan pemerintahan.

Dalam Islam, pemerintah merupakan penanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Wajib pemerintah mensejahterakan rakyatnya, memenuhi segala kebutuhannya baik kebutuhan pokok seperti sandang pangan dan papan. Begitu juga kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan tanpa ada diskriminasi antara yang Muslim dan non Muslim, semuanya mendapatkan pemenuhan yang sama.

Inilah hak mereka. Hanya saja hak-hak lain, seperti menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi negara, harus didetailkan. Sebab, di dalamnya ada ketentuan hukum yang berbeda, antara Muslim dengan non Muslim. Seperti dilarangnya non Muslim menjadi khalifah (kepala negara), muawwin (pembantu Khalifah) dan jabatan pemerintah yang berhubungan dengan kekuasaan. Sementara bagian yang tidak berhubungan dengan pemerintah dan kekuasaan, non Muslim diberikan hak yang sama dalam menjabat seperti menjadi kepala biro, departemen perdagangan, perindustrian, pertanian dan sebagainya.

Selain itu pengaturan pemerintahan dalam Islam menghilangkan segala bentuk kecurangan. Pemimpin dipilih bukan karena kekayaannya dan banyaknya dukungan terhadap dirinya. Namun disebabkan kelayakan dan ketaatannya kepada Allah SWT.

Kelayakan seorang pemimpin diperhatikan dari terpenuhi tujuh syarat diantaranya, laki-laki, Muslim, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu. Sedangkan Pemimpin yang taat adalah pemimpin yang takut hanya kepada Allah SWT, dengan menjalankan syariat Islam disetiap aspek kehidupan termasuk dalam berpolitik dan pemerintahan. Dirinya tidak tergoda dengan harta dan kedudukan, karena menyadari betul bahwa kepemimpinannya dalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.

Pejabat negara yang berkuasa dalam pemerintahan Islam juga tidak mendapatkan gaji, mereka hanya diberikan santunan selayaknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya oleh negara. Maka wajar, non Muslim yang hidup dalam pemerintahan Islam akan ridho dengan kekuasaan yang dipegang oleh seorang Muslim, karena mereka paham betul pemimpin Muslim wajib amanah, melayani rakyat dengan menerapkan syariat Islam yang penuh rahmah.

Allah SWT berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya : 107).

Sangat jauh berbeda dengan politik pemerintahan Oligarki dan sistem politik kufur lainnya, pejabat negara mendapatkan gaji tinggi, fasilitas mewah, tunjangan dan pelayanan negara. Pejabat dilayani bukan melayani. Sehingga terciptalah para pejabat negara tanpa hati.

Walhasil, politik pemerintahan dalam Islam yang penuh rahmah hanya bisa terwujud ketika institusi negara Khilafah berhasil ditegakkan.
InsyaAllah

Comment