Penulis: Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kondisi generasi muda kita saat ini ternyata tidak sedang baik-baik saja. Satu persoalan belum selesai sudah muncul lagi persoalan yang lain susul menyusul. Padahal generasi muda memegang estafet masa depan gerasi di masa yang akan datang. Generasi muda yang seharusnya membawa energi baru bagi perbaikan peradaban justru dilingkupi begitu banyak masalah.
Berdasarkan data yang dikutip dari tempo.com, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa remaja yang menderita gangguan kesehatan mental sangat tinggi, mencapai 15,5 juta orang atau setara 34,9 persen dari total remaja di Indonesia.
Wakil Menteri Kementerian Kependudukan, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka, menyatakan bahwa generasi muda saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks, salah satunya adalah isu kesehatan mental di kalangan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute menunjukkan bahwa 34 persen pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental. Tiga dari sepuluh pelajar sering menunjukkan perilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional.
Hasil riset ini dapat dijadikan sebagai angka prevalensi bagi kondisi kesehatan mental remaja di Indonesia secara umum. Tentu hal ini patut menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama, dari mulai orang tua, guru, masyarakat hingga negara.
Dikutip dari kompas.com, media sosial memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan mental remaja. Di era serba digital, paparan terhadap standar kecantikan yang tidak realistis, cyberbullying, kecanduan digital, serta konten pornografi sangat berpotensi memengaruhi kesehatan mental remaja.
Paparan konten yang tidak sehat dapat berpengaruh terhadap tingkat kognitif atau kecerdasan, daya nalar, serta kemampuan berpikir kritis seseorang. Tidak heran jika di era digital ini muncul istilah Brain Rot (pembusukan otak), yang menggambarkan kondisi otak yang terganggu akibat terlalu banyak mengonsumsi konten digital yang tidak berkualitas.
Istilah Brain Rot merujuk pada kecanduan terhadap konten digital dangkal yang menyebabkan menurunnya kualitas berpikir. Penyebabnya antara lain terlalu banyak mengonsumsi konten hiburan tanpa makna, menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial, serta kurangnya stimulasi intelektual yang berkualitas.
Dampak dari kondisi ini meliputi sulit berkonsentrasi, kesulitan berpikir jernih, sulit menyerap informasi baru, meningkatnya kecemasan, hingga depresi.
Selain itu, ada juga istilah Popcorn Brain (otak yang meletup-letup seperti popcorn), yaitu kondisi di mana otak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dari dunia digital. Hal ini menyebabkan seseorang sulit fokus dan cepat berpindah dari satu pemikiran ke pemikiran lainnya tanpa mendalaminya.
Akibatnya, remaja mengalami penurunan rentang perhatian, mudah lupa, kehilangan kedalaman pemikiran, mengalami gangguan pola tidur, serta kesulitan menikmati kegiatan yang tidak melibatkan teknologi. Bahkan, kondisi ini bisa memicu stres, kecemasan, dan gangguan mental yang lebih serius.
Selain permasalahan kesehatan mental, fenomena childfree juga semakin marak di kalangan generasi muda. Ide childfree mengajarkan bahwa seseorang tidak perlu memiliki anak dengan berbagai alasan, mulai dari isu kependudukan hingga ekofeminisme yang beranggapan bahwa semakin banyak manusia lahir, maka semakin rusak pula lingkungan.
Alasan lainnya termasuk trauma pengasuhan, ketidakmampuan menghadapi tanggung jawab sebagai orang tua, faktor ekonomi, hingga keinginan mengejar karier tanpa diganggu oleh anak-anak.
Fenomena ini mengindikasikan adanya krisis dalam regenerasi. Banyak generasi muda bahkan menolak menikah, sebagaimana ditunjukkan oleh data BPS yang mencatat bahwa angka pernikahan terus menurun dari tahun ke tahun.
Padahal dalam Islam pernikahan dan memiliki keturunan adalah bagian dari sunnatullah yang harus dijaga demi keberlanjutan umat manusia yang mempunyai amanah sebagai para pemakmur bumi.
Tingginya angka gangguan mental di kalangan remaja, fenomena childfree, serta menurunnya angka pernikahan menunjukkan bahwa negara belum berhasil atau bisa dikatakan gagal membina generasi.
Harapan untuk mencetak Generasi Emas 2045 hampir mustahil terwujud jika kondisi ini terus berlanjut tanpa ada perbaikan mendasar. Sayangnya, sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem kapitalisme sekuler, yang menciptakan individu liberal tanpa pegangan nilai yang kuat.
Pendidikan sekuler menghasilkan remaja yang gagal memahami jati diri mereka. Mereka tidak diajarkan solusi yang benar untuk menghadapi permasalahan hidup, sehingga banyak yang akhirnya terjerumus dalam depresi, kecemasan, dan ketidakpastian hidup.
Ditambah lagi dengan pengaruh media sosial yang semakin memperburuk keadaan, membentuk pola pikir instan yang menjauhkan mereka dari kedalaman berpikir dan ketahanan mental yang kokoh.
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam menawarkan solusi menyeluruh dalam membentuk generasi bermental kuat. Dalam Islam, kepemimpinan memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan generasi berkualitas melalui penerapan sistem kehidupan yang sesuai dengan syariat. Dalam pendidikan berbasis akidah Islam negara wajib membangun sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam.
Pendidikan bukan hanya sekadar mencetak individu cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk kepribadian Islam yang kuat dan adab yang mulia. Remaja selain dibekali ilmu pengetahuan, skill dan keterampilan juga dibekali dengan pemahaman agama yang mendalam, sehingga mereka memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi tantangan hidup.
Peran keluarga dan masyarakat serta orang tua sangat besar dalam membentuk karakter anak sejak dini. Keluarga harus menjadi tempat pertama yang mengajarkan nilai-nilai Islam, ketahanan mental, serta cara menghadapi masalah dengan solusi yang benar. Selain itu, masyarakat juga berperan dalam upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental generasi muda.
Islam akan memastikan bahwa media dan hiburan yang dikonsumsi oleh masyarakat bersifat mendidik dan tidak merusak moral. Konten digital yang merusak akan dikontrol, sementara produksi media yang berkualitas akan didukung penuh. Islam menetapkan kebijakan yang tegas dalam menjauhkan remaja dari pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pemikiran liberal seperti childfree, individualisme, dan hedonisme harus ditangkal dengan edukasi Islam yang benar. Dengan demikian, remaja tidak akan mudah terpengaruh oleh tren yang merusak.
Untuk benar-benar membentuk generasi bermental baja, Islam harus diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Sistem ekonomi yang adil, sistem sosial yang berbasis syariat, serta kepemimpinan yang bertanggung jawab akan memastikan bahwa generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara mental, emosional, dan spiritual.
Maka membentuk generasi muda yang bermental baja bukanlah sesuatu yang mustahil, tetapi membutuhkan sistem yang benar dalam penerapannya. Sistem kapitalisme sekuler terbukti gagal dalam mencetak generasi yang tangguh.
Sebaliknya, Islam dengan segala aturannya mampu membentuk individu yang kuat mentalnya, cerdas pemikirannya, dan siap menjadi pemimpin masa depan yang membawa peradaban Islam ke arah kejayaan.
Sudah saatnya kita kembali kepada Islam sebagai solusi hakiki dalam membangun generasi yang tangguh dan berakhlak mulia. Karena keberkahan Islam meliputi seluruh alam, bukan hanya terbatas keberkahan untuk kaum muslimin semata. Wallahu’alam bishowab.[]
Comment