Putusan Dan Vonis Atas Asma Dewi Merupakan Kompromi Majelis Hakim

Berita539 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Asma Dewi dijatuhi hukuman 5 Bulan dan 15 hari. 3 hari lebih dari lamanya penahanan di Polda dan Pondok Bambu.

Kelebihan 3 hari itu mungkin karena Majelis Hakim/MH “salah hitung”. Apalagi Terdakwa sudah dilepas dari tahanannya, sehingga tidak terpengaruh. Berbeda dari Kasus Jamran-Rijal, karena masih ada “di dalam” mereka terpaksa harus menjalani penahanan seminggu lagi.
Seharusnya Asma Dewi bebas, karena kesalahannya tidak terbukti. Tetapi, hanya karena Terdakwa sudah telanjur masuk tahanan, maka dicarilah solusi kompromi dengan menjatuhkan lamanya hukuman.
AD didakwa mengunggah 4 Postingan di Facebook disertai dengan komentar terhadap berita unggahan dari sumber lain: 
1) Di Malaysia diwajibkan Bahasa Jawa, yang dikomentari: “Kok di Indonesia ada kewajiban belajar Bahasa Cina…”
2) Di Indonesia akan didirikan Pabrik Vaksin Cina, padahal Bahan Baku Vaksin Cina banyak palsu, yang dikomentari: “Kok yang brengsek-brengsek dari Cina…”
3) Menteri Pertanian impor Jerohan agar harga Daging turun, yang dikomentari: “Lho, Jerohan di LN dibuang… di sini kok disuruh makan rakyat… Rezim Koplak… Edun!”
4) Awas, orang-orang Cina mau menyerbu Indonesia, yang diposting balik tanpa komentar.
Pembela menyampaikan segepok Tulisan tentang Bahasa, Vaksin, Jerohan dan Daging serta Serbuan Buruh Cina yang menjadi BUKTI, bahwa berita dan komentar AD bukan tanpa alasan.
Postingan-postingan Facebook tersebut dikopi Jaksa Penuntut Umum/JPU dalam Surat Dakwaannya. Sekalipun begitu JPU tidak mampu memperlihatkan dan memperagakan Postingan-postingan Aslinya. Karena, kemudian diketahui dari Ahli Cyber yang dihadirkan JPU, antara lain dari Polri, bahwa seluruh Gambar dan Berita dalam Tiga Postingan-postingan tersebut telah terhapus secara Permanen, dan tidak bisa dilacak lagi.
Pembela juga menunjukkan bukti bahwa salahsatu akun Ttrdakwa yang memuat satu postingan lain sudah ditutup pihak Facebook sebelum postingan tersebut diunggah terdakwa menurut Surat Dakwaan.
Artinya, Pembela telah membuktikan di dalam persidangan bahwa JPU tidak bisa membuktikan kebenaran dari Surat Dakwaannya. Bahkan hal itu dikuatkan oleh Ahli Cyber/Forensik JPU sendiri. 
Tentunya MH memperhatikan perihal pembuktian Cyber yang sangat penting tersebut. Di sini patut diketahui adanya Dalil dalam Persidangan: Bahwa JPU berhak dan berwajib membuktikan Surat Dakwaannya untuk mengalahkan terdakwa. Pembela berhak dan berwajib membela dan memenangkan terdakwa. MH berhak dan berwajib memimpin sidang untuk memutus dengan adil serta menetapkan hukuman.
Lain dengan sistim Juri, di mana Juri yang menetapkan Keadilan dan MH memimpin sidang dan menetapkan hukumannya.
Memang ada perbedaan antara JPU dan MH dalam melihat Surat Dakwaan dalam Kasus AD. MH tidak sependapat dengan Dakwaan Alternatif JPU. MH menggunakan dua Pasal Dakwaan sekaligus, yaitu Pasal 28(2) UU ITE dan Pasal 207 KUHP sekaligus. Dalam Surat Keputusan yang dibacakan kemarin (15/3/18) MH menguraikan, bahwa unsur-unsur dalam Pasal 28(2) yang didakwakan terbukti, termasuk unsur tanpa hak menyebar berita yang terindikasi “membenci” dan “membuat permusuhan”. Sementara tidak jauh dari Ruang Sidang AD, dalam Ruang Sidang lain, dalam Perkara yang mirip, menghadirkan Terdakwa Nelly Siringoringo, juga soal UU ITE Pasal 28(2), Majelis Hakim lain, atas keterangan Ahli yang dihadirkan JPU, memberikan kesimpulan, bahwa semua Postingan yang sudah masuk di Medsos adalah HAK siapa saja untuk mengaksesnya. Ada dua alasannya: 1) Tidak perlu minta ijin kepada orang pertama yang membuat dan mengunggahnya… (bagaimana mau minta ijinnya?!). 2) Kalau orang yang melakukan Copy-Paste dan Reposting harus menjadi Tersangka, maka orang pertama yang membuat dan mengunggah terlebih-lebih harus menjadi Tersangka pertama…. ternyata tidak!
Dengan begitu unsur tanpa hak menjadi gugur, sehingga seluruh Pasal 28(2) juga menjadi gugur.
MH juga nenyoroti ujaran “Rezim Koplak” dan “Edun” yang menurut MH berkonotasi menghina, jareba bisa berarti bodoh atau goblog. (Memang gobloglah Mentan, kalau mau menurunkan harga Daging dengan cara mengimpor Jerohan… Itu pendapat Ahli Teknik Industri SBP di dalam Sidang). 
Kalaulah Pembela menghadirkan Menteri Pertanian sebagai Saksi Korban, MH dengan mudah akan menolaknya dengan alasan “bukan delik aduan”. Rupanya MH lupa, bahwa Pasal 154 KUHP tentang ujaran kebencian dan permusuhan kepada Pemerintah sudah dicabut (2007). Sehingga, mestinya MH tidak selayaknya menggunakan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan kepada Aparat Negara…
Dari uraian tersebut di atas, maka Asma Dewi, juga Terdakwa-terdakwa lain dalam Perkara yang mirip, yaitu pelanggaran terhadap Pasal 28(2) UU ITE, khususnya yang hanya Reposting, harus bebas! Mungkin saja MH malu hati atau hilang muka, kalau tidak menghukum Asma Dewi karena telanjur ditahan hingga lebih dari 5 bulan. Bagaimana seandainya Tersangka/Terdakwa tidak ditahan?! Bagaimana kalau sekiranya MH melepaskan Terdakwa dari tahanan samasekali, atau sekurang-kurangnya tidak sampai 90 hari?! Apakah Putusan terhadap AD akan berubah?! 
Begitu berbahayakah seorang Ibu Rumah Tangga seperti Asma Dewi… Atau Nelly Suringoringo, Ibu Doktet yang dari Sumatera Barat itu, atau Ibu Rini yang dari Ciparay Bandung, dan masih banyak lagi yang lain… Begitu jahatkah dan tidak tahu HAM-kah para Penegak Hukum kita?! Masih belum puaskah mereka terhadap praktek Mafia Peradilan selama puluhan tahun sampai hari ini?! Hanya Perubahan Rezim yang akan dan bisa menjawab.[SBP]

Berita Terkait

Baca Juga

Comment