Two State Solution, Solusi atau Ilusi?

Opini348 Views

 

Penulis: Syamsam, S.S.,M.Si | Alumni Kajian Timur Tengah dan Islam UI

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Solusi dua negara kembali diperbincangkan sebagai solusi atas konflik Israel Palestina yang tak berkesudahan. Usulan solusi dua negara pertama kali muncul tahun 1937 dalam Laporan Komisi Peel. Disusul pada perjanjian perjanjian setelahnya termasuk dalam perjanjian Oslo 1993.

Kini usulan tersebut kembali digaungkan sebagaimana disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri, Arrmanatha C Nasir, Kamis (13/2/2025), hanya akan mendukung mekanisme yang mengarah pada solusi dua negara.

Senada yang disampaikan Prabowo Subianto pada konferensi Tingkat Tinggi yang digagas oleh Arab Saudi dan Perancis. Prabowo menyerukan agar diberlakukan two state solution (solusi dua negara) agar konflik antara Israel dan Palestina mereda.

Hal ini sebagai respon atas statement Presiden AS, untuk memindahkan seluruh rakyat Palestina dari wilayah Gaza hingga terdiaspora ke beberapa negara.

Mengingat bahwa gencatan senjata beberapa bulan yang lalu menuai kegagalan sebagaimana gencatan senjata sebelum sebelumnya kini terulang kembali. Hal ini menuai berbagai macam reaksi dari Pemimpin negara Muslim khususnya negara Arab.

Seperti halnya negara Qatar sebagai salah satu negara mediator atas gencatan yang terjadi. Qatar menaruh harapan baik akan terwujudnya perdamaian antara Palestina dan Israel.

Namun, lagi dan lagi hanya beberapa hari berjalan sebagaimana yang telah terjadi sebelum -sebelumnya, perjanjian kembali dilanggar dan dikhianati.

Gencatan senjata dan negosiasi tersebut  dikesampingkan oleh serangan baru Israel terhadap Palestina hingga hari ini. Hal ini menunjukkan bahwa harapan perdamaian Israel – Palestina melalui gencatan senjata maupun solusi dua negara oleh Pemimpin negara Muslim hanyalah utopis.

Dilansir dari Al-Jazeera.com (4/5/2025), Kepala angkatan darat Israel, Eyal Zamir akan mengerahkan puluhan ribu tentara cadangan untuk memperluas serangan terhadap Jalur Gaza yang terkepung.

Hal itu diperkuat dengan pernyataan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang berjanji untuk melanjutkan perang meskipun ada seruan dalam kesepakatan agar tawanan Israel yang ditahan di Gaza dibebaskan.

“Kami akan menghancurkan semua infrastruktur (Hamas) di atas dan di bawah tanah.” Tutur perdana menteri Israel.

Hal ini semakin memperkuat bahwa dalih perdamaian dengan gencatan senjata nihil terwujud dan solusi dua negara mustahil terjadi karena sejatinya yang diinginkan oleh Israel bukanlah perdamaian melainkan pengusiran seluruh warga Palestina agar meninggalkan tanah air mereka.

Mengosongkan wilayah Gaza dan Tepi Barat yang tersisa dan menjadikan warga Palestina sebagai warga pengungsi ke negara-negara yang akan menerimanya. Di lain sisi, penguasa muslim baik negara yang berdekatan dengan Palestina maupun yang jauh tidak berkutik dan tidak mampu mengeluarkan sangsi tegas atas kejadian memilukan dan biadab ini.

Hal ini semakin menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pemimpin Muslim tidaklah mencerminkan suara hati umat yang justru mengkhianati penjajahan yang dialami rakyat Palestina. Sebaliknya, umat Muslim di seluruh dunia merasa bahwa normalisasi justru mengkhianati nilai-nilai Islam dan hak-hak rakyat Palestina.

Nation State Menjadi Faktor Kegagalan Solusi Palestina-Israel

Nation state (negara bangsa) sebagai pandangan yang mengungkung pandangan umat Muslim yang hanya memikirkan persoalan kepentingan negara masing masing sebagai negara yang telah dipisahkan oleh batas teritorial sebagai buah dari penjajahan.

Hal ini telah mengubah pandangan umat muslim dan wajah dunia Islam seluruhnya yang tidak lagi berdasar pada nilai ukhuwah Islamiah dan ikatan akidah Islam. Melainkan lebih mementingkan kondisi dan kepentingan negara masing-masing.

Pandangan ini berawal dan bermula dari perjanjian rahasia yang disepakati oleh Inggris dan Prancis pada 1916 sebagai bagian negara imperialis. Perjanjian tersebut dikenal dengan perjanjian Sykes-Picot, isi perjanjian ini menerangkan Inggris dan Prancis sepakat untuk membagi wilayah khilafah Utsmani menjadi zona pengaruh mereka masing-masing tanpa memperhitungkan aspirasi umat Islam di sana.

Ditandai dengan kekalahan khilafah Utsmani yang terseret pada Perang Dunia I membuat khilafah makin terpojok dan membuka peluang bagi Inggris dan Prancis untuk memperbesar pengaruhnya hingga ke beberapa wilayah Timur Tengah serta memperlemah khilafah dengan berbagai konspirasi yang diciptakannya.

Salah satunya ialah mengembuskan nasionalisme di kalangan bangsa Arab dan Turki agar terpecah belah dan memisahkan diri dari negara Khilafah Utsmani.

Walhasil dari upaya tersebut, kesatuan kaum muslimin terpecah bersamaan dengan runtuhnya khilafah Utsmani. Walhasil, bermunculan negara-negara kecil seperti negara -negara Arab yang berfokus pada negara mereka masing-masing.

Sehingga persoalan genosida yang terjadi di Palestina sangat sulit terselesaikan apalagi dukungan kuat Negara Islam yang sudah terkontaminasi oleh nation state. Mereka berpikir persoalan Palestina bukan perkara yang mesti diselesaikan oleh penguasa Muslim di luar batas teritorialnya.

Islam mengajarkan kita untuk menjaga ukhuwah (persaudaraan) di antara umat Muslim melebihi batas teritorial. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya, orang-orang beriman itu bersaudara” (QS. Al-Hujurat: 10).

Persaudaraan ini tidak hanya bermakna saling mendukung dalam keadaan damai, tetapi juga memberikan perlindungan dan pembelaan ketika ada yang mengalami penindasan. Nabi Muhammad Saw menegaskan hal ini dalam haditsnya:

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak akan menzhaliminya atau menyerahkannya kepada musuh.”

Hal ini menjadi dasar dan menguatkan kepada seluruh ummat muslim beserta penguasanya menjadikan akidah sebagai ikatan yang mampu mempersatukan kaum muslimin. Bukan ikatan nasionalisme yang mencerai beraikan tubuh dan kekuatan kaum muslim.

Dakwah Persatuan Ummat untuk Pembebasan Palestina

Penderitaan kaum muslim di Palestina tak kunjung berakhir begitu pula dengan tertindasnya umat muslim di negara minoritas lainnya. Sementara penjajah Zionis Israel justru semakin brutal dan membabi buta, berbuat di luar batas kemanusiaan.

Setelah bertahun tahun mencaplok wilayah yang terus bertambah hingga menyasar Tepi Barat dan Gaza, para penguasa muslim tetap hanya mencukupkan diri dengan kecaman tanpa aksi nyata untuk pembebasan wilayah Palestina.

Bahkan meski umat Islam menyerukan jihad sebagai solusi namun pasukan militer dari negeri kaum muslimin tak kunjung dikerahkan oleh pemimpinnnya. Padahal Allah memerintahkan umat Islam memberi pertolongan pada saudaranya sesama muslim.

Akan tetapi, selama umat masih terikat pada nasionalisme warisan penjajah, mereka tidak akan pernah benar-benar bersatu, dan jihad pun tidak akan digerakkan.

Oleh karena itu, umat Islam harus segera mencampakkan nasionalisme dan kembali menyadari bahwa penjajahan hanya bisa dihentikan dengan persatuan umat dalam satu sistem dan kepemimpinan Islam global.

Umat wajib menyeru kepada muslim di seluruh dunia dengan seruan yang sama yakni persatuan Islam global. Dengan kata lain bahwa umat harus terus mengingatkan pentingnya persatuan umat dan kewajiban menolong sesama umat Muslim. Sehingga Umat bergerak menuntut penguasa muslim melaksanakan kewajiban menolong Palestina dengan melaksanakan jihad dan menegakkan pemerintahan Islam global di bawah satu kepemimpinan.

Hal ini menjadi satu satunya jalan menghimpun kekuatan seluruh kaum muslimin untuk membebaskan Palestina dan negeri-negeri kaum muslimin yang terjajah serta menyelamatkan seluruh umat manusia dari kezaliman dan penjajahan.

Dengan begitu, Islam tampil menjadi Rahmat bagi seluruh Alam sebagaimana yang pernah diwujudkan oleh Rasulullah SAW di Madinah. Wallahu ‘alam.[]

Comment