Fenomena Lapar Kerja dan Mati Sia-Sia di Kamboja

Opini976 Views

 

Penulis: Rahmawati Ayu Kartini | Pemerhati Sosial

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kalau bukan karena terpaksa, siapa sih yang mau kerja di tempat yang jauh di Kamboja. Berpisah dengan orangtua, keluarga, teman, dan belum tentu bisa pulang waktu hari raya. Walaupun tidak jelas bagaimana nasibnya kelak, mereka berusaha tidak ambil pusing dengan kabar yang makin marak: WNI yang terlibat perdagangan manusia, ‘tidak selamat’, diambil ginjalnya, dll. WNI terpaksa bertaruh nyawa di negeri orang untuk bisa bekerja menghidupi keluarga.

Namun karena situasi ekonomi yang makin sulit akhir-akhir ini, di tengah PHK massal, iming-iming gaji tinggi (10-16 juta/bulan) dan fasilitas mewah, rayuan kerja di Kamboja mampu memberikan harapan besar meningkatkan taraf hidup keluarga. Semangat sukses meluap-luap, hingga rasa optimis mengalahkan kekhawatiran mengadu nasib di Kamboja. Toh tidak semua yang mengalami nasib sial, pikir mereka. Ada juga yang berhasil.

Inilah sebagian besar alasan WNI ke Kamboja. Menurut Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh, jumlah WNI yang datang ke Kamboja melonjak drastis dalam 5 tahun ini.

Pada 2024 tercatat 166.795 kedatangan, meningkat 11x lipat dari tahun 2020 sebanyak 14.564 kedatangan. Belum yang masuk secara ilegal. Bahkan, Kamboja kini masuk dalam Top 10 destinasi yang paling banyak dikunjungi WNI (Instagram. Indonesiainphnompenh)

Fenomena Lapar Kerja

Maraknya WNI yang mencari pekerjaan di Kamboja dari tahun ke tahun, bukannya menurun malah meningkat drastis, menunjukkan betapa sulitnya mencari penghidupan di negeri sendiri. Mereka tidak akan keluar negeri jika di negara ini mudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Lapangan kerja di negara ini memang sangat darurat harus diperbanyak, jika kita tidak ingin makin banyak rakyat menjadi korban!

Kesulitan ekonomi, naiknya harga kebutuhan pokok, susahnya hidup layak, makin mendorong rakyat yang sebagian besar para pemuda untuk pergi ke Kamboja. Sehingga mereka terjerumus pada perdagangan manusia yang memaksa bekerja untuk judol dan scammer.

Sebagaimana dikatakan Brigjen pol. Nurul Azizah, Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak Pidana Perdagangan Orang (TPPA-PPO), “Mereka diwajibkan agar dapat mencapai target korban tertentu. Mereka harus mendapatkan nomor telepon untuk calon korban scam daring. Jika tidak mencapai target, mereka akan mendapatkan hukuman, yaitu kekerasan baik verbal maupun fisik serta pemotongan gaji.”

Namun anjuran pemerintah untuk tidak tergiur dengan gaji tinggi dan fasilitas mewah, tentu saja tidak cukup untuk menuntaskan persoalan ini. Karena akar masalahnya bukan rakyat yang mudah tergiur, namun karena pekerjaan yang susah diakses.

Menurut Direktur Migrant Care Indonesia Wahyu Susilo, sedang terjadi fenomena lapar kerja di Indonesia saat ini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh berbagai penipuan lowongan pekerjaan online yang menjerumuskan. Berujung pada penjualan ginjal bagi mereka yang tidak mencapai target kerja, atau berakhir mati sia-sia!

Dalam konteks itu menurut Wahyu, Indonesia sebenarnya punya gugus tugas anti-perdagangan orang atau trafficking. Gugus tugas yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga ini seharusnya bekerja di lini pencegahan, sosialisasi, dan penegakan hukum.

Namun, lini-lini ini tidak pernah dimaksimalkan oleh gugus tugas untuk mengantisipasi kasus-kasus TPPO di Kamboja atau negara-negara lainnya.

Sistem kapitalisme sekuler yang bercokol di negeri ini menjadi penyebab urusan rakyat menjadi terbengkalai. Selama tidak menghasilkan keuntungan materi, pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator. Bukan betul-betul melayani dan melindungi rakyat. Rakyat terpaksa mandiri berjuang sendiri, atau tersia-siakan.

Lapangan kerja dalam Sistem Islam

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Pernah tercatat dalam tinta emas sejarah di era Umar bin Abdul Aziz, ada petugas keliling yang menawarkan pekerjaan pada rakyat, bagi mereka yang belum punya pekerjaan.

Menawarkan pelunasan hutang, bagi mereka yang kesulitan melunasi hutang-hutangnya. Menawarkan menikah dan modal, bagi mereka yang kesulitan untuk menikah. Negara siap membiayai itu semuanya. (Instagram.gensaladin)

Dari mana sumber dananya? Tentu saja dari pos-pos penerimaan Baitul Mal yang berasal dari zakat, ghanimah, fa’i, kharaj, kekayaan alam, dll. Jika abdi negara bertakwa dan amanah, akan mampu memikul tanggung jawab ini. Karena mereka sadar, semuanya kelak akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah.

Pada saat itu, jangankan manusia. Bahkan hewan liar pun menjadi perhatian serius Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada musim dingin bersalju, di mana burung-burung sulit untuk mendapatkan makanan, Khalifah memerintahkan untuk menebarkan makanan burung di atas bukit atau gunung. Agar burung-burung liar pun mendapatkan makanan. Tradisi memberi makan hewan liar ini sampai saat ini masih berlanjut di Turki. Sehingga hewan liar di sana hidup dijamin oleh negara.

Demikianlah jika merujuk pada aturan Allah, Sang Maha Pencipta, akan terwujud kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya. Islam betul-betul akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, jika aturannya diterapkan secara nyata. Bukan hanya sekedar teori belaka. Rakyat tidak perlu harus jauh-jauh mencari pekerjaan, bahkan bertaruh nyawa hingga mati sia-sia. Wallahu a’lam bisshowab.[]

Comment